Pentingnya Sifat Malu dalam Bekerja

Pentingnya Sifat Malu dalam Bekerja

Share artikel ini :

حَدَّثَنَاعَبْدُ اللهِ بْنِ يُوْسُفْ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَي رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ وَ هُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِي الحَيَاءِ فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ الحَيَاءَ مِنَ الإِيْمَانِ

Telah bercerita kepada kami Abdullah bin Yusuf, Ia diberitahukan oleh Malik bin Anas, dari ibnu Syihab, dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya Salim, bahwasannya Rasulullah SAW berjalan melewati seseorang dari Anshar yang sedang menasihati saudaranya tentang rasa malu, lalu Rasulullah SAW bersabda, tinggalkan dia, karena malu itu adalah sebagian dari iman. (HR. Bukhari dalam kitab iman).

Malu adalah akhlak yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain. Seperti halnya ketika kita bekerja dalam suatu perusahaan, lalu peraturan yang yang berlaku dalam perusahaan tersebut kita abaikan, tugas yang diamanahkan tidak dijalankan, perjanjian waktu bekerja yang disampaikan pada awal masuk menjadi karyawan tidak kita jalankan, maka perbuatan tersebut tidak beda dengan kezaliman dan pengkhianatan terhadap janji yang kita ikrar kan pada waktu ingin bergabung di dalam perusahaan tersebut. Maha Suci Allah yang memberikan sifat malu agar manusia menahan diri dari kema’siatan yang disadari maupun tidak disadari. Timbul pertanyaan, kenapa begitu banyak orang yang baik di mata kita, tapi sering sekali tidak merasa malu ketika ia melalaikan hak orang lain?

Jenis-jenis Malu

Dalam hal ini, kita harus mengetahui bahwa Malu itu sendiri setidaknya ada dua jenis :

  1. Malu yang merupakan tabiat dan watak bawaan. malu seperti ini adalah akhlak paling mulia yang diberikan Allah SWT kepada seorang hamba, oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda :

الحَياَءُ لَا يَأْتِي إِلاَّ بِخَيْرٍ

         “Malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan”

  1. Malu yang timbul karena adanya usaha. Inilah malu yang didapatkan dengan ma’rifatullah (mengenal Allah SWT) dengan mengenal keagunganNya, kedekatanNya dengan hamba-hambaNya, perhatianNya terhadap mereka, pengetahuanNya terhadap mata yang berkhianat dan apa saja yang dirahasiakan oleh hati. Malu yang didapat dengan usaha inilah yang dijadikan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari iman.

Manusia manapun yang tidak memiliki rasa malu, baik yang berasal dari tabi’at  maupun yang didapat dengan usaha, maka tidak ada sama sekali yang menahannya dari terjatuh kedalam perbuatan keji dan maksiat, sehingga tanpa disadarinya dia sudah menjadi tentara-tentara setan  yang terkutuk yang berjalan di muka bumi dengan tubuh manusia. Naudzubillah min zalik.

Dahulu, orang-orang Jahiliyyah – yang berada di atas kebodohannya – sangat merasa berat untuk melakukan hal-hal yang buruk karena dicegah oleh rasa malunya, diantara contohnya ialah apa yang dialami oleh Abu Sufyan ketika bersama Heraklius ketika ditanya tentang Rasulullah SAW, Abu Sufyan berkata,

فَوَ اللهِ ، لَوْ لاَ الْـحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوْا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْتُ عَلَيْهِ

“Demi Allah Azza wa Jalla , kalau bukan karena rasa malu yang menjadikan aku khawatir dituduh oleh mereka sebagai pendusta, niscaya aku akan berbohong kepadanya (tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam).”

Rasa malu telah menghalangi Abu Sufyan yang pada saat itu belum memeluk islam, untuk membuat kedustaan atas nama Rasulullah SAW, karena ia malu jika dituduh sebagai pendusta.

Begitu juga Kalau kita melihat budaya yang terdapat di Negeri Matahari, yaitu Jepang, Ada Peribahasa Jepang yang sudah dikenal turun-temurun, Iki hajikaku yori, shinu ga mashi. Artinya, “lebih baik mati daripada hidup menanggung malu.” Luar biasanya, peribahasa itu tidak sekadar menjadi pemanis bibir, namun diimplementasikan secara nyata. Gerakan harakiri yang mengerikan, juga terlahir dari rahim budaya malu. Budaya malu itu sendiri sudah begitu berurat akar bagi masyarakat Jepang. Terbukti, ketika sudah menjadi salah satu negara industri maju di dunia seperti saat ini pun, budaya tersebut masih sangat lekat pada diri masyarakatnya. Melalui budaya malunya, mereka merasa memiliki harga diri yang teramat tinggi. Mereka malu untuk berbuat nista, malu bekerja secara asal-asalan, malu korupsi, dan lain sebagainya. Sebaliknya, para koruptor di Negri kita tercinta ini, seolah-olah bangga dengan kekayaan yang dimiliki, yang berasal dari perbuatan memalukan itu. Tanpa rasa malu-malu pula, mereka melempar senyum ke arah kamera, tidak malu jutaan pasang mata melihat dengan pandangan sinis dan mencibir. Tak heran, di tengah kian melambungnya harga-harga, sempat muncul sindiran pedas. Katanya, “Di republik ini semua serba mahal, kecuali harga diri para koruptor.” Penyebabnya, karena mereka sudah tidak memiliki rasa malu lagi. Dilihat dari perspektif sosiokultural, tentu saja apa yang terjadi saat ini cukup mengherankan. Sebab, sejatinya Indonesia juga memiliki kearifan lokal yang tak kalah hebat dibandingkan Jepang. Bahkan, bisa dibilang lebih kaya, karena begitu beragamnya suku bangsa di Indonesia. Maka, seandainya kearifan lokal itu terus dipertahankan, pemahaman agama terus ditingkatkan, bukan mustahil bisa menekan tingkat korupsi maupun kemalasan dalam bekerja di negeri ini, akhirnya menjadi negeri yang makmur, aman dan sejahtera. Wallahu A’lamu bis Showab.

Oleh: Ust. Satibi Darwis, Lc (Sekretaris Dewan Pengawas Syariah PT Asuransi Takaful Keluarga)

Informasi Terbaru