Halalnya Asuransi Syariah

Halalnya Asuransi Syariah

عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إِنَّ الأَشْعَرِيِّينَ إِذَا أَرْمَلُوا فِي الْغَزْوِ، أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ بِالْمَدِينَةِ ، جَمَعُوا مَا كَانَ عِنْدَهُمْ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ ، ثُمَّ اقْتَسَمُوْهُ بَيْنَهُمْ فِي إِنَاءٍ وَاحِدٍ بِالسَّوِيَّةِ ، فَهُمْ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُم (أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ عَنْ أَبِي كُرَيْبٍ ، عَنْ أَبِي أُسَامَةَ . وَأَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ عَنِ ابْنِ بَرَّادٍ وَأَبِي كُرَيْبٍ ، عَنْ أَبِي أُسَامَةَ)  .

Dari Abu Musa r.a. dia berkata. Rasulullah SAW bersabda,”sesungguhnya Marga Asy’ari (Asy’ariyin) ketika keluarganya ada yang menjadi janda karena ditinggal suami (yang meninggal) di peperangan, ataupun ada keluarganya mengalami kekurangan makanan, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki dalam satu kumpulan. Kemudian dibagi diantara mereka secara merata. Mereka adalah bagian dari kami dan kami adalah bagian dari mereka.”(HR. Bukhari).

Pentingnya Asuransi Syariah

Pada dasarnya asuransi syariah tidak bertentangan dengan islam. Karena salah satu tujuan dasar dari syariat islam adalah memelihara harta dan keluarga dari kehancuran, kemusnahan dan kehilangan. Dan asuransi syariah sangatlah tepat dalam konsep pemeliharaan terhadap jiwa, harta dan keluarga. Pemeliharaan terhadap jiwa dalam syariat islam diistilahkan dengan (حِفْظُ النَّفْسِ), pemeliharaan terhadap harta diistilahkan dengan (حِفْظُ المَالِ), sedangkan pemeliharaan terhadap keluarga/keturunan diistilahkan dengan (حِفْظُ النَّسْلِ).

Hanya saja, tidak semua masyarakat Indonesia sadar akan pentingnya memiliki asuransi  syariah sebagai bentuk perlindungan diri pribadi. Bahkan, sebagian umum masyarakat masih memandang asuransi syariah memiliki unsur yang merugikan dan bertentangan dengan agama. Padahal asuransi syariah adalah solusi agar masyarakat terhindar dari sistem ribawi. Terkait hal ini, asuransi syariah di Indonesia telah memiliki fatwa dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), berikut ulasan lengkapnya.

Fatwa Tentang Asuransi Syariah

Islam tidak melarang manusia memiliki asuransi. Asuransi diperbolehkan asalkan dana yang terkumpul dikelola sesuai dengan syariat-syariat Islam. Hal ini disebutkan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) NO : 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman asuransi syariah. Fatwa tersebut memuat tentang bagaimana asuransi yang sesuai dengan syariat agama islam.

Berikut ringkasan pandangan MUI terhadap asuransi yang perlu diketahui :

  1. Bentuk Perlindungan

Dalam kehidupan, kita memerlukan adanya dana perlindungan atas hal-hal buruk yang akan terjadi. Hal ini ditegaskan oleh fatwa MUI NO : 21/DSN-MUI/X/2001 menyatakan, “Dalam menyongsong masa depan dan upaya meng-antisipasi kemungkinan terjadinya risiko dalam kehidupan ekonomi yang akan dihadapi, perlu dipersiapkan sejumlah dana tertentu sejak dini”. Salah satu upaya solusi yang bisa dilakukan adalah memiliki asuransi yang dikelola dengan prinsip-prinsip syariah. Iktiar/usaha ini juga merupakan pengamalan dari perintah Allah SWT dalam firmanNya,”dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir tehadap (kesejahteraannya)”. [QS An-Nisa : 9].

Ayat ini juga sekaligus menjawab pola berfikir yang salah dari sebagian masyarakat yang mengatakan bahwa bolehnya mengumpulkan dana untuk saling membantu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum asy’ariyyiin dikarenakan terjadi peristiwa terlebih dahulu.

Logika berfikir seperti ini sangatlah naif dan sangat bertentangan dengan firman Allah dalam [QS An-Nisa : 9] dan bertentangan juga dengan hadis sohih yang diriwayatkan oleh sahabat Sa’ad bin Abi Waqqos dimana Nabi SAW berpesan kepadanya,”sesungguhnya kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan mampu (kaya) lebih baik bagimu daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan lemah (miskin) meminta-minta kepada manusia (lainnya)”. [HR. Bukhari].

  1. Unsur Tolong menolong

Semua ajaran agama yang ada pasti mengajarkan sikap tolong-menolong terhadap sesama. Dalam kehidupan sosial tolong-menolong dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, baik secara finansial maupun kebaikan. Fatwa MUI NO : 21/DSN-MUI/X/2001 menyebutkan di dalam asuransi syariah terdapat unsur tolong-menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai syariah. Hal ini sesuai dengan firman Allah,”… dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan ketaqwaan….”. [QS A-Maidah : 2]

  1. Unsur Kebaikan

Dalam setiap produk asuransi syariah mengandung unsur kebaikan atau istilahnya memiliki akad tabbaru’. Secara harfiah, tabbaru’ dapat diartikan sebagai kebaikan. Aturannya, jumlah dana kontribusi/premi yang terkumpul disebut hibah bissyarthi (pemberian dengan persyaratan) yang nantinya akan digunakan untuk kebaikan, yakni klaim yang dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian. Perlu ditegaskan bahwa akad hibah dalam asuransi syariah adalah hibah bissyarthi (pemberian dengan persyaratan yang berlaku) bukan hibah mutlaq (dimana hibah/pemberian yang diberikan kepada orang lain tidak boleh diambil kembali), sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW,“Orang yang menarik kembali hibahnya (pemberiannya) seperti anjing yang memakan kembali muntahannya.” (Muttafaqun ‘Alaihi).

Adapun besarnya kontribusi/premi dapat ditentukan melalui rujukan yang ada, misalnya merujuk pada tabel mortalita untuk menentukan kontribusi/premi pada asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk menentukan kontribusi/premi pada asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam perhitungannya.

  1. Berbagi Risiko dan Keuntungan

Dalam asuransi yang dikelola secara prinsip syariah, risiko dan keuntungan dibagi rata ke orang-orang yang terlibat dalam investasi. Hal ini dinilai cukup adil dan sesuai dengan syariat agama karena menurut MUI, asuransi hendaknya tidak dilakukan dalam rangka mencari keuntungan komersil.

Risiko yang dimaksud adalah risiko yang terjadi pada salah satu peserta asuransi yang terkena musibah, maka ganti rugi (klaim) yang didapat dari peserta asuransi yang lain. Dengan kata lain, saat seorang peserta mendapat musibah peserta lain juga ikut merasakannya. Begitu juga dengan keuntungan yang didapat. Dalam asuransi syariah keuntungan/surplus underwriting yang didapat dari hasil investasi kontribusi/premi dalam akad mudharabah dapat dibagi-bagikan kepada peserta asuransi dan tentu saja disisihkan juga untuk perusahaan yang mengelola investasi. Hal ini juga ditegaskan dalam POJK No 72/ POJK.05/2016 tentang kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah, BAB III Surplus Underwriting, Pasal 6, Ayat 1.

  1. Bagian dari Bermuamalah

Muamalah merupakan bagian dari hukum islam yang mengatur hubungan antar manusia. Contoh hubungan yang diatur dalam islam adalah jual beli dan perdagangan. Hal tersebut juga menjadi landasan dari asuransi syariah. Menurut MUI asuransi juga termasuk bagian dari bermuamalah karena melibatkan manusia dalam hubungan finansial. Segala aturan dan tata caranya tentu saja harus sesuai dengan syariat islam. Jadi dalam berpartisipasi dalam bermuamalah, Anda dianggap ikut serta dalam menjalani perintah agama.

  1. Akad dalam Asuransi Syariah

MUI juga menegaskan aturan akad yang digunakan dalam asuransi. Hal ini sebagai langkah antisipasi dari kesalah fahaman sebagian masyarakat yang mengatakan bahwa terjadinya dua Akad dalam satu jual beli dalam asuransi syariah. Tanpa memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud oleh Nabi SAW dalam hadis berikut,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِيْ بَيْعَةٍ

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang melakukan dua transaksi dalam satu transaksi jual beli.” [Hadits ini dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban].

Menurut Jumhur Ahli Fikih dari kalangan sahabat, tabi’in dan para imam mujtahid menjelaskan bahwa yang dimaksud dua jual beli dalam satu akad adalah seperti penjualan barang dengan menggunakan harga tempo (kredit) atau harga tunai (cash). Pada keadaan ini ternyata sang pembeli dan penjual tidak memutuskan apakah barang tersebut dijual dalam keadaan tunai atau tempo, dan sudah terjadi transaksi (transaksi tidak jelas  apakah tempo atau tunai). Transaksi inilah dilarang Nabi SAW dalam hadisnya. Namun jika penjual dan pembeli sepakat mengambil salah satu akad (salah satu harga) sebelum berpisah, maka hal ini diperbolehkan.

Adapun mekanisme Akad yang dijalankan dalam asuransi syariah sangatlah jelas dan adil, dimana dana kontribusi/premi yang dibayarkan peserta langsung dipisah dari awal, mana dana tabarru’ untuk saling membantu sesama peserta ketika ada yang tertimpa musibah dan mana ujrah/fee perusahaan sebagai pengelola dana para peserta. Seperti halnya zakat, ada porsi khusus yang didapatkan oleh amil zakat sebagai pengelola dana zakat. MUI juga menegaskan bahwa Akad yang disepakati tidak boleh terdapat unsur gharar (ketidak jelasan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat karena tujuan akad adalah saling tolong-menolong dengan mengharapkan ridha dan pahala dari Allah SWT.

Terdapat 2 jenis akad dalam asuransi syariah yang perlu diketahui, yaitu

  1. Akad Tijarah

Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial. Baik mudharabah ataupun wakalah bil ujrah. Dari awal ketika mengisi Surat Permohonan Asuransi Jiwa (SPAJ), peserta sudah menyetujui semua ketentuan Akad yang tertuang dalam SPAJ tersebut.

Maksud tujuan komersial dalam akad mudharabah, yakni pengelolaan investasi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi (selaku mudharib) yang dananya didapati dari dana kontribusi/premi peserta asuransi (sohibul mal). Hal ini dilakukan guna mendapatkan keuntungan yang maksimal dalam pengelolaan investasi bagi semua pihak. Sedangkan wakalah bil ujrah adalah akad di mana peserta memberikan kuasa/wakalah kepada perusahaan asuransi sebagai wakil nasabah dalam mengelola dana mereka dengan imbalan pemberian ujrah (fee). Sifat akad wakalah adalah amanah, jadi perusahaan asuransi hanya bertindak sebagai wakil (yang mengelola dana) sehingga perusahaan tidak menanggung risiko terhadap kerugian investasi. Selain itu juga tidak ada pengurangan fee yang diterimanya oleh perusahaan, kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi.

  1. Akad Tabbaru’

Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan hanya untuk tujuan komersial. Dana kontribusi/premi yang terkumpul menjadi dana hibah bissyarthi (dengan persyaratan) yang dikelola oleh perusahaan asuransi. Selanjutnya, dana hibah bissyarthi (dengan persyaratan) yang terkumpul digunakan untuk klaim asuransi bagi peserta yang terkena musibah.

Jangan Ragu Miliki Asuransi Syariah

Dari penjelasan fatwa DSN-MUI tentang pedoman umum asuransi syariah yang menjadi acuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator dalam mengatur mekanisme operasional perusahaan asuransi yang berdasarkan prinsip syariah. Seyogyanya tidak ada lagi keraguan masyarakat tentang kehalalan asuransi syariah. Milikilah produk asuransi syariah  dalam menyongsong masa depan dan upaya meng-antisipasi kemungkinan terjadinya risiko dalam kehidupan ekonomi yang akan dihadapi. Cerdas dalam memilih produk asuransi yang sesuai dengan kebutuhan akan berdampak positif terhadap kebahagian keluarga Anda.


Ust. Satibi Darwis, Lc., MA
Sekretaris Dewan Pengawas Syariah PT Asuransi Takaful Keluarga

Informasi Terbaru